Oleh: MUHAMMAD AS HIKAM
(Ponpes Salafiyah Kholidiyah
Plumpang, Tuban, Jawa Timur)
I. Ekstremisme, Radikalisme, dan Terorisme Mengatasnamakan Islam
Dalam perjalanan sejarah Islam,radikalisme [1] dan penggunaan kekerasan untuk kepentingan politik golongan, dapat dirunutakarnya semenjak masa sesudah wafatnya Rasulullah saw, terutama dengan munculnya apa yg dikenal sebagai kelompok (firqah) Khawarij.[2] Kelompokinilah yg dianggap bertanggungjawab terhadap kasus-kasus pembunuhan politik terhadap Khalifah Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib serta beberapa tindak penyerangan terhadap kelompok dan pemimpin Islam lainnya. Untuk keperluan pengabsahan aksinya, kaum Khawarij mengembangkan pemikiran dan gagasan teologis yang ekstrem yang pada intinya menganggap semua pihak, individu maupun kelompok, yang tidak mengikuti gagasan dan pemikiran serta aksi mereka sebagai kelompok yang berada di luar Islam (kafir) [3] dan karenanya harus diperangi. Tak pelak lagi, kaum Khawarij lantas menjadi kelompok radikal dan Takfiri (menganggap pihak lain sebagai kafir) pertama dalam sejarah Islam dan menjadi target setiap penguasaIslam sehingga pengaruhnya sebagai kekuatan dan paham ideologis pun mengalamimarginalisasi (peminggiran).
Kendati marginal sebagai kelompokdan ajaran, ideologi radikal Takfiri tidak lantas lenyap, tetapi mengalami evolusi, transformasi, dan dinamika sesuai perkembangan sejarah dan masyarakat Islam di mana mereka berada. Ideologi-ideologi ekstrim dan radikal, berikut berbagai aksi kekerasan senantiasa muncul dalam perjalanan sejarah Islam sampai saat ini. Ironisnya, tak jarang kelompok ekstrim tersebut mendapat legitimasi publik dan ummat yang cukup luas sehingga,sampai tingkat tertentu, seakan-akan menjadi representasi dari ummat Islam.Dalam konteks sejarah Indonesia, misalnya, gerakan kaum Paderi yg dipimpin Imam Bonjol di Sumatera Barat, telah ‘terlanjur’ dianggap sebagai aksi kepahlawanan menghadapi kolonialisme Belanda, padahal menurut sebagian sejarawan apa yang disebut dengan Perang Paderi tersebut asal muasalnya adalah gerakan radikal agama yg diwarnai kekerasan yang dilakukan oleh para Ulama dan pendukung puritanisme Islam terhadap kelompok Adat, yang kendati beragama Islam tetapi dikategorikan sebagai kafir.[4] Radikalisme dan kekerasan di dalam ummat Islam di berbagai negara di dunia yang lain,bukanlah sesuatu yang asing atau insidentil belaka, tetapi memiliki akar kesejarahan dan terkait dengan perubahan masyarakat.
Era pasca-perang dingin yg dicirikan dengan globalisasi berikut dampak perubahan-perubahan besar dalam segala aspek kehidupan manusia, menyaksikan muncul dan maraknya radikalisme di sebagaian ummat Islam dan fenomena aksi terror yang, secara salah atau benar,diasosiasikan dengan Islam atau ummat Islam. Apa yg disebut oleh para pakar sebagai ideologi “Trans-nasional Islam”atau “Islam Fundamentalis” atau “Salafi jihadis”, atau sering disebut “Jihadis” adalah istilah jenerik dari pendukung ideologi radikal yang mengapropriasi ajaran Islam dan memakai strategi serta taktik kekerasan, termasuk tetapi tak terbatas pada terorisme. Salah satu peristiwa yang selalu menjadi rujukan di dunia adalah peristiwa 9 September 2001, ketika dua pesawat penumpang ditabrakkan ke Gedung Kembar WTC di New York oleh para teroris Al-Qaeda, dan upaya yang sama namun gagal terhadap Kementerian Pertahanan AS diPentagon. Selain ribuan manusia menjadi korban, kerusakan baik fisik maupun psikis secara massif telah terjadi yang akan berdampak sangat besar bukan saja terhadap bangsa Amerika tetapi juga ummat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, aksi-aksi terror mulai marak sejak tahun 2000 dan sampai saat ini masih belum ada tanda-tanda akan berhenti kendati telah ratusan korban meninggal dan luka-luka, belum lagi dampak negatifnya bagibangsa Indonesia di mana ummat Islam merupakan bagian integral di dalamnya.
Negara RI sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya adalah ummat Islam, pada tingkat tertentu, menghadapi problem yang lebih rumit ketimbang AS dalam hal ancaman terror yang dilandasi oleh ideologi ekstrim-radikal. Di AS, ancaman terror dan kelompok teroris relatif lebih jelas sosok dan identitasnya,walaupun bukan berarti mudah untuk dideteksi dan diatasi. Kasus terakhir bom dikota Boston, umpamanya, menunjukkan bahwa ancaman terror di dalam negeri AS ternyata masih terus ada. Padahal upaya pemberantasan terorisme oleh negeri tersebut telah dilakukan secara begitu seksama, sistematis, dan menelan biaya triliunan dollar. Apa yg disebut sebagai strategi pencegahan awal (preventive) dan aksi dadakan (pre-emptive) dalam perangmelawan terorisme semenjak Presiden George Bush sampai saat ini, di bawah Presiden Obama, masih banyak diperdebatkan efektifitasnya. Kendati AS dapat menembak mati gembong teroris seperti Osama bin Laden di Pakistan, tetapi faktanya Al-Qaeda ternyata masih tetap bergeming dan malah memiliki berbagai jejaring di Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur, termasuk kawasan ASEAN!
Di Indonesia, kondisinya sangat berlainan karena kelompok radikal dan pelaku terror berada dalam suatu wilayah yang dihuni ummat Islam yang memungkinkan mereka melakukan berbagai upaya klandestin (penyelundupan) dan bergerak dalam masyarakat. Kendati jumlah pendukung kaum radikal di Indonesia sangat kecil,[5] namun mereka dengan mudah mampu melakukan manipulasi dan kampanye untuk mencari dukungan atau simpati melalui manipulasi informasi dan penggunaan jejaring media, baik media umum maupun media sosial. Selain itu, berbagai gerakan danormas Islam yang memiliki pandangan yang dekat dengan kaum radikal, langsung atau tidak, ikut memberikan selubung dan dukungan. Sebagian ummat Islam yang memiliki pemahaman yang masih kurang mengenai relasi agama dan kekuasaan negara atau Pemerintah, juga mudah dipengaruhi oleh kaum radikal sehingga mereka dapat dimanfaatkan juga dalam penyebaran gagasan dan aksi radikal tesebut. Dapat disimpulkan bahwa dengan kondisi seperti ini, perang melawan radikalisme dan gerakan radikal di Indonesia memiliki kompleksitas yang jauh berbeda dengan negara seperti AS, dan karenanya harus pula menggunakan strategi yang lebihkompatibel dengan konteks dan realitas yg ada di negeri ini. Pendekatan kekuatan dan penegakan hukum (hard power)saja tidak akan mampu menyelesaikan masalah secara tuntas. Diperlukan pendekatan yang lebih lunak (soft power) termasuk upaya de-radikalisasi padatataran masyarakat sipil, khususnya di kalangan akar rumput (grass-roots).
II. Peran Ponpes Dalam Penanggulangan Ekstremisme-Radikalisme
Mengikuti pandangan almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur),ponpes adalah sebuah sub-kultur dalam masyarakat yang peran dan fungsinya senantiasa mengikuti perkembangan. Sebagai sub-kultur, ponpes memiliki ciri khas baik secara fisik maupun non fisik serta produknya. Secara non fisik ponpes memiliki cara pandang dunia (worldview)yang bersumber dari ajaran Islam yg diwarisi dan diajarkan secara terus menerus dari generasi pertama yang salih (salafas- salih) sampai saat ini. Dari pandangan dunia tersebut, maka lembaga ponpes membawa dua misi penting: 1) sebagai lembaga pendidikan untuk memperdalam dan mengembangkan agama Islam, dan 2) memperbaiki perilaku masyarakat baik di dalam maupun di luar ponpes sesuai dengan ajaran Islam.Secara fisik, ciri khas ponpes dapat dicermati dari bentuk bangunan atau kompleks di mana ia berada yang menjadikannya sebagai sebuah komunitas mandiri tetapi tetap terbuka kepada pihak di luarnya. Dimensi fisik ponpes itu termasuk juga bagaimana proses ajar mengajar dilaksanakan, hubungan antara Kyai-santri baik ketika masih berada di dalam maupun setelah di luar ponpes, hubungan antara komunitas ponpes dengan pihak di luarnya, termasuk penguasa, dan lain-lain.Sementara produk pesantren adalah para alumni dan kontribusinya serta penghargaan yang diterima dari masyarakat. Dalam hal ini, ponpes ikut berkiprah bukan saja dalam pengembangan keilmuan agama dan penerapannya dalam kehidupannyata, tetapi juga dalam aspek kehidupan non-agama, seperti ekonomi, politik,dan sosial.
Tak pelak lagi, inti sub-kultur ponpes adalah Kyai dan santri serta kiprah memperdalam ilmu keagamaan (tafaqquh fid-diin) yang telah berabad-abad dilestarikan dan dikembangkan. Dalam tradisi ponpes di kalangan nahdliyyin, titik berat pendidikan ponpes adalah meneruskan tradisi keilmuan agama yg telah menjadi corpus Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) dengan memperhatikan konteks lingkungan dimana ia berada, baik pada tataran lokal, regional, nasional, maupun global.Kendati sepintas fokus ponpes sangat lokal, namun tak mungkin dihindarkan terjadinya persentuhan dengan lingkup yang lebih luas. Apalagi dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, stereotype ponpes sebagai lembaga pendidikan agama yang kurang gaul, terisolasi, dan tertutup, tidak memiliki validitas yangcukup kuat. Disiplin keilmuan yang diajarkan dalam ponpes, seperti fiqh, hampir tidak memungkinkan Kyai dan santri untuk bersikap mengasingkan diri. Kendati demikian, harus diakui adanya gradasi tingkat kosmopolitanisme dalam ponpes tertentu.
Itulah sebabnya, jarang ditemukan ponpes yang benar-benar uzlah (mengisolasi diri) dari pergaulan dan komunikasi dengan masyarakat sekitar. Justru sebaliknya, ponpes menjadi salah satu locus untuk bukan saja mencari, mendalami dan mengembangkan keilmuan agama, tetapi juga referensi bagi keperluan masyarakat: mulai keperluan membaca doa sampai masalah politik. Dengan demikian perpaduan antar fungsi pertama dan kedua, senantiasa berlangsung lebih-kurang secara wajar dan natural. Hanya saja intensitasnya sangat tergantung kepada sang Kyai dan santri serta masyarakat sebagai pemangku kepantingan (stake holders). Bisa saja sebuah ponpes yg berada di sebuah lokasi pedesaan memiliki jangkauan pengaruh (sphere of influence) yang menerobos batas-batas geografis desa dan bahkan kota sekitarnya. Demikian jugasebaliknya, bisa terjadi bahwa sebuah ponpes di kota yang tidak terlalu banyak terdengar pengaruhnya di luar komunitas sekitarnya.
Dengan adanya posisi strategis seperti ini, maka tak heran jika Geertz menyebut peran Kyai pada suatu saat adalah semacam makelar budaya (cultural broker) bagi komunitas pesantren dan masyarakat sekitarnya. Kyai adalah figur yang dianggap memiliki kelebihan dalam keilmuan agama dan juga kemampuan menerjemahkan pengaruh-pengaruh luar kepada komunitasnya. Gus Dur lebih jauh ketimbang Geertz dalam melihat fungsi Kyai. Bukan saja sebagai makelar budaya, Kyai (dan ponpes) juga menjadi pencipta (creator) dan penemu produk budaya baru sebagai hasil dari perenungan, pemikiran, dan interaksi intensifnya dengan dunia luar. Tak heran jika banyak kalangan dari luar ponpes yang sering kaget dengan orisinalitas pemikiran para Kyai dalam bidang-bidang yang strategis di luar lingkup ponpes. Rois Akbar NU KH Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Syansuri, KH, Wahab Hasbullah, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Shiddiq, KH. Abdurrahman Wahid, dan banyak Kyai besar NU adalah contoh-contoh utama yg dapat disebutkan. Dan masih banyak lagi dalam kapasitas yang berskala lokal,regional, dan nasional.
Berangkat dari latar belakang sejarah,peran dan fungsi ponpes tersebut, maka jika saat ini muncul fenomena radikalisme (gagasan, ideologi, dan praksis) yang berdampak sangat destruktif bagi masyarakat, bangsa Indonesia, dan ummat Islam, ponpes pun harus tampil memberikan kontribusinya. Ponpes dapat berkontribusi besar baik dalam dimensi tafaqquh fid-din, maupun rekayasa sosial budaya untuk membendung dan memberantas radikalisme di lingkungannya, yang berarti juga benteng pertamabagi bangsa dan NKRI. Ponpes baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, tergantung dari kapasitas dan lingkup pengaruhnya mampu melahirkan pemikiran yang dapatdipakaiutk menolak ideologi radikal yang mengatasnamakan ajaran Islam, seperti ideologi kaum Jihadis yg saat ini sedang marak di negeri kita mulai dari level akar-rumput sampai elitnya. Lebih penting lagi, ponpes juga menjadi komponen utama dalam masyarakat sipil menyadarkan betapa berbahayanya radikalisme tersebut, karena salah satu sasaran utamanya adalah menghancurkan nilai-nilai inti (core values) yang selama ini dijadikan pegangan dan rujukan oleh kaum nahdliyyin,yakni nilai-nilai Aswaja.
III. Strategi Ponpes Dalam Agenda De-radikalisasi
Dalam buku “Antara Terorisme dan Jihad” karya Dzulqarnain As-Sunusi (2011) khususnya Bab III tentang Pandangan IslamTerhadap Terorisme, pengertian terorisme sesuai dengan fatwa dari Al-Azhar adalah “membuat takut orang-orang yang aman, menghancurkan kemashlahatan,tonggak-tonggak kehidupan mereka, dan (perbuatan melampaui batas terhadap harta, kehormatan, kebebasan, dan kemuliaan manusia dengan penuhkesewenang-wenangan dan kerusakan di muka bumi.”[6] Radikalisme dan terorisme dalam pemahaman ini bertolak belakang dengan konsep Jihad yang diyakini oleh jumhur Ulama dan ummat Islam, yakni “bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan atau apa yang ia mampu.”[7] Terorisme berdampak negatif dan secara syar’i bertentangan dengan ajaran Islam.[8]
Sebab musabab terorisme bermacam-macam dan tidak bisa hanya direduksi menjadi satu dua sebab belaka.Namun demikian, faktor pemikiran dan pandangan serta ideologi radikal berikut penyebarannya adalah salah satu yang utama. Termasuk dalam faktor ini adalah penyebaran ideologi Takfiriah sebagaimana yang dipropagandakan oleh kelompok-kelompok Jihadis di mana saja.[9] Faktor-faktor struktural tentu juga ikut berperan sebagai pendukung dan pendorong berkembangnya ideologi dan praksis radikalisme, seperti ketidakadilan, kesewenang-wenangan penguasa, kemiskinan akut, krisis moral dalamkehidupan publik, infiltrasi dari pihak luar, dan masih kuatnya budayakekerasan dalam suatu komunitas atau masyarakat.
Kiranya menjadi jelaslah di mana locus peran dan fungsi ponpes dalam peta jalan (road map) agend penanggulangan ekstremisme-radikalisme. Jika de-radikalisasi dimengerti sebagai salah satu implementasi dari pendekatan kekuatan lunak (soft power) dalam masyarakat sipil, maka ponpes menjadi salah satu ujung tombak terpenting dalam upaya de radikalisasi di bidang ideologi pada akar rumput yakni komunitas Muslim diakar rumput. Ponpes dapat berperan sebagai salah satu aktor dalam deteksi dan peringatan dini (early detection and warning) terhadap gejala munculnya virus radikalisme, dan sekaligus menjadi penangkalnya. Yang disebut terakhir itudapat secara efektif dilakukan melalui upaya diskursif (wacana) maupun praksis (tindakan di lapangan). Pada tataran diskursif, ponpes dapat memberikan argumen kontra berdasarkan penafsiran ajaran-ajaran Islam yang bersumber pada tradisi yang telah berabad-abad dimiliki dan dilestarikan oleh ponpes. Pada tataran praksis, ponpes dapat ikut serta menjadi pelaksana gerakan membendung radikalisme dalam berbagai aksi sosial dan ekonomi serta budaya.
Dalam pemahaman Aswaja di lingkungan nahdliyyin, misalnya, sikap radikal,ekstrim, berlebihan (tatharruf) tidak mendapat tempat dan ditolak.Prinsip-prinsip tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), ‘adalah (adil), adalah merupakanlandasan dalam bersikap dan bertindak termasuk dalam mengambil keputusan hukum-hukum agama. Itulah sebabnya mengapa ponpes sebagai sub-kultur dalam masyarakat dapat bertahan berabad-abad dan bahkan mewarnai kehidupan sosial budaya serta menjadi kekuatan perubahan (agent of social changes). Kendati pendekatan ponpes tidak radikal revolusioner, tetapi gradualise volusioner, namun dampak yang ditimbulkannya telah membuat sebuah warna Islam yang moderat dan inklusif di negeri ini. Penerapan kaidah-kaidah ushulfiqh seperti “memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik” atau “jika tidak mendapat keseluruhan, maka ambillah sebagian yg bermanfaat”, atau “kebiasaan adalah salah satu dasar hukum” dan sebagainya menjadikan para Kyai dan santri serta komunitas ponpes mampu beradaptasi dan sekaligus melakukan proses transformasi yang tidak menciptakan dampak-dampak yang merusak harmoni sosial.
Secara kongkrit, ponpes perlu dilibatkan dalam agenda de-radikalisasi sesuai dengan kapasitas dan konteksnya dalam lingkup lokal, regional dan nasional bahkan internasional. Pendekatandari akar rumput untuk de-radikalisasi akan efektif jika pihak pembuatkeputusan bekerjasama secara terpadu, bukan bersifat instruksi dan tekanan dariatas, dengan ponpes serta ormas-ormas sperti NU yang menaungi ratusan ribu lembaga pendidikan Islam tradisional. Jika ini dilakukan, maka sebuah beteng (bullwark) yang kokoh untuk membendung radikalisme akan terbangun. Dan ini berarti bahwa ponpes sekali lagi akan menjadi pemeran sejarah yang penting dalam ikut memelihara dan menjaga keamanan nasional NKRI.
IV. Penutup
Ancaman dan bahaya radikalisme merupakan masalah nasional yang harus dihadapi oleh seluruh komponen bangsa, termasuk masyarakat sipil,diseluruh tanah air. Maraknya ideologi radikal dan organisasi-organisasi yang menggunakan pendekatan kekerasan termasuk terorisme, harus menjadi kepedulian seluruh warga negara, termasuk komunitas pesantren. Sebaliknya, para pengambil keputusan di tingkat nasional maupun regional dan lokal harus mampu memberdayakan potensi yang sudah terbukti sumbangsihnya selama berabad-abadlamanya dalam membangun komunitas dan masyarakat melalui pendidikan agama,yakni lembaga pondok pesantren. Penanggulangan radikalisme atau de-radikalisasisebagai sebuah strategi yang dianggap efektif dalam jangka panjang haruslahdikembangkan secara kontekstual dengan melibatkan para pemangku kepentinganserta potensi yg dimiliki mereka.
Sudah saatnya pelibatan ponpes dalam de-radikalisasi diimplementasikan dengan menggunakan peta jalan, strategi danupaya-upaya yang jelas, komprehensif, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan kinerjany
(Tulisan ini adalah ringkasan makalah dalam acara Bedah Buku "Antara Jihad dan Terorisme", diseenggarakan oleh Yayasan Salafiyah Kholidiyah, Plumpang Tuban, Jatim, tgl 8 Juni 2013)
Catatan:
[1] Radikalisme adalah gabungan dari dua kata ‘radikal” dan “isme”. Radikal berasal dari kata “radix” atau akar. pengertian radikal adalah sesuatuyg ekstrim, fundamental, atau drastis. Radikalisme adalah paham yang menghendaki perubahan drastis dan ekstrim. Perubahan radikal tidak selalu berarti negatif, tetapi radikalisme lebih cenderung berkonotasi negatif karena pemakaian cara-cara ekstrim, kekerasan dan destruksi (perusakan) terhadap tatanan dan nilai yang ada demi mencapai tujuan.
[2]Kelompok Khawarij adalah kelompok Muslim yang pada mulanya menyokong Sayidina Ali bin Abi Thalib, KW, tetapi kemudianmengingkari, menolak kepimpinan beliau dan bahkan melakukan pembunuhan terhadapbeliau dan juga sebelumnya thd SayyidinaUtsman Ibn ‘Affan, RA. Lihat (http://ms.wikipedia.org/wiki/
[3]Dengan demikian kelompok Khawarij bisa disebut juga sebagai kelompok Takfiri (yang mengafirkan) yang pertamadan cikal bakal kelompok-kelompok Takfiri yang ada sampai sekarang.
[4]Menarik bahwa pemimpin kaum Adat yang diperangi oleh Ulama di Sumatera Barat tersebut, bergelar Sultan, yaitu Yang Dipertuan Agung Sultan Arifin Muningsyah. Tidak mungkin gelar tersebut diberikan kecuali kepada seseorang yang beragama Islam. Konflik tersebut berubah menjadi perang melawan penjajah, ketika kaum Adat meminta bantuan Belanda untuk mengalahkan pihak kaum Padri. Lihat (http://id.wikipedia.org/wiki/
[5]Kecilnya jumlah kelompok dan pendukung kaum radikal Islam di Indonesia tidak berarti bahwa pengaruh mereka tidak signifikan, atau bahwa kerusakan serta kekacauan yang ditimbukan juga kecil. Fakta yang ada menunjukkan bahwa korban-korban terorisme, baik rakyat maupun aparat, serta kerusakan harta-bendadan fasilitas, belum lagi pengaruh psikologis yg ditimbulkannya adalah sangatbesar baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Baca, misalnya, Wawan H.Purwanto, Satu Dasawarsa Terorisme diIndonesia, Jakarta: CMB Press, 2012.
[6]Dzulqarnain As-Sunusi, Antara Jihad danTerorisme, edisi revisi, Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2011, hal. 126
[7]Definisi yang dikutip As-Sunusi dari Ar-Raghibal-Ashbahany, op. cit, hal. 53.
[8]Disebutkan ada 16 (enambelas) dampak negatif dari teorisme secara syar’i: 1) Penentangan terhadap Allah danRasulNya; 2) Keluar dari Jama’ah kaum Muslimin; 3) Pembangkangan thd Penguasa(yg sah); 4) Perbuatan bid’ah dalam agama; 5) Penghianatan dan melangar janji;6) Pelanggaran thd perjanjian kaum Muslimin; 7) Perbuatan dzalim dan melampauibatas; Terhambatnya penyebaran agama Allah; 9) Terciptanya rasa takut ditengah kaum Muslimin; 10) Terjadinya bahaya di tengah kaum Muslimin; 11)Penguasaan orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin; 12) Pembunuhan jiwa ygtidak bersalah; 13) Tersakitinya kaum Muslimin yang tak berdosa; 14) Timbulnyakerusakan di muka bumi; 15) Orang-orang yang berkomitmen terhadap agamanyamenjadi bahan celaan dan cercaan; dan 16) Perusakan harta benda yang terjagadan dilindungi Syari’at. op. cit, hal.204-219.
[9]As-Sunusi mengatakan ada 13 (tigabelas) penyebab munculnya terorisme: 1) Jauhdari tuntunan syari’at Allah; 2) Jahil terhadap tuntunan Syari’at dansedikitnya pemahaman agama; 3) Sikap ekstrim; 4) Jauh dari tuntunan ulama; 5)Mengikuti ideologi menyimpang; 6) Hizbiah (pengelompokan, red) terselubung; 7)Tersebarnya buku-buku yang memuat ideologi terorisme; Mengikuti semangatbelaka; 9) Makar musush-musuh Islam; 10) Tidak diterapkannya hukum Allah padakebanyakan negeri Islam; 11) Paham Khawarij; 12) Kerusakan media massa; dan 13)Diletakkannya berbagai rintangan terhadap dakwah yang haq. Op.cit, hal.165-203.
Posting Komentar