Oleh: Muhammad Idris Mas'udi
Siapa sangka jika di kawasan keraton Surakarta terdapat bangunan megah nan mewah yang konon menghabiskan dana sekitar 13 Milyar. Konon, dana tersebut adalah hasil sumbangan dari para jama’ahnya selama kurang lebih sebelas bulan. Sungguh hal yang sangat luar biasa. Sebuah kelompok pengajian yang baru dirintis sekitar tahun 1972 ini sudah mampu mendirikan bangunan yang mewah.
Pada mulanya, penulis tidak begitu “ngeh” dengan MTA, namun kemudian dikenalkan oleh seorang senior yang berbaik hati yang mau membagi wawasan keilmuannya kepada penulis tentang kajian keislaman. Kemudian senior tersebut memberikan sebuah link MTA (http://mta-online.com/v2) untuk membaca dan mengkaji isi dari website tersebut. Penulis akhirnya tertarik untuk mengunduh file-file yang terdapat dalam website tersebut. Kemudian setelah lama tersimpan dalam laptop jadul penulis, penulis mencoba membacanya dengan sabar. Kemudian tidak lama kemudian, ada seorang kawan di pesbuk yang menanyakan tentang MTA. Dari situ, keingintahuan penulis untuk mengetahui MTA semakin memuncak setelah mendengar kabar bahwa Pak Said Aqil (Ketum PBNU) pernah menulis opini di salah satu media yang isinya mengeritik MTA. Tak lama berselang, salah seorang pengurus MTA mengeritik tulisan Pak Said tersebut. Puncaknya, penulis diberikan oleh-oleh Majalah Aula PWNU Jatim edisi Juni yang isinya –hampir 60%- berisikan tentang MTA.
Sejauh ini, paling tidak –sejauh amatan penulis di beranda fesbuk penulis-, belum ada satupun teman-teman penulis yang menyuguhkan informasi tentang MTA. Penulis tidak tahu apakah hal ini dikarenakan kajian mereka (MTA) tidak memikat dan tidak berbobot sehingga malas dan merasa rugi untuk capek-capek membaca dan mengkaji seputar MTA. Atau mungkin ada alasan lainnya. Mungkin pertanyaan selanjutnya adalah “Ada apa dengan MTA?”, kok mau-maunya penulis menyibukkan diri membaca artikel2 MTA dan menulis tentangnya? Yang menarik –bagi penulis- adalah artikel-artikel mereka dikemas dalam bentuk yang sangat rapih dan enak dipandang. Referensi yang digunakan adalah al-Quran dan Hadis. Akan tetapi sedikit banyak –sependek amatan penulis- tulisan mereka dapat “menipu” para pembaca yang tidak cermat dan jeli dalam kajian al-Qur’an dan Hadis. Sebagai misal, mereka dengan begitu halus mengeritik dalil tentang kesunahan puasa tanggal sepuluh dan sebelas Muharram melalui kajian kritik hadis. Karena itu, di samping mendapatkan stimulus dari seorang senior, penulis juga merasa tergugah untuk ikut berpartisipasi dalam kajian ini.
Dengan keterbatasan waktu dan kemampuan penulis, penulis berusaha menampilkan sebuah contoh kajian kritik hadis “serampangan” mereka dalam memberangus tradisi yang telah dilakukan oleh warga Nahdliyin.
MAJLIS TAFSIR AL-QUR’AN
(MTA) PUSAT
http://www.mta-online.com e-mail : humas_mta@yahoo.com Fax : 0271 661556
J Semanggi 06/15, Pasarkliwon, Solo, Kode Pos 57117, Telp. 0271 643288
Ahad, 26 Desember 2010/20 Muharram 1432 BrosurNo.:1537/1577/IA
Hadits tentang puasa tanggal 10 dan 11 Muharram
حدثنا عبد الله حدثني أبي قال هشيم أنا بن أبي ليلى عن داود بن على عن أبيه عن جده بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Puasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah kaum Yahudi. Puasalah sehari sebelum atau sehari sesudahnya”. [HR. Ahmad juz 1, hal. 518, no. 2154]
حدثنا محمد بن يحيى حدثنا مسدد حدثنا هشيم أخبرنا ابن أبي ليلى عن داود بن علي عن أبيه عن جده ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : صوموا يوم عاشوراء و خالفوا اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما
قال الألباني : إسناده ضعيف لسوء حفظ ابن أبي ليلى وخالفه عطاء وغيره فرواه عن ابن عباس موقوفا وسنده صحيح عند الطحاوي والبيهقي
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura dan selisihilah kaum Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya”. [HR. Ibnu Khuzaimah juz 3, hal. 290, no. 2095]
Keterangan :
Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah di atas dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ibnu Abi Laila, ia jelek hafalannya.
Ibnu Abi Laila, namanya adalah Muhammad bin’Abdur Rahman, bin Abi Laila Al-Anshariy.
Yahya bin Sa’id mendla’ifkannya. Ahmad bin Hanbal berkata, “Ia buruk hafalannya, mudltharibul hadiits. Ibnu Hibban berkata, “Ia buruk, banyak kelirunya dan buruk hafalannya, banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar.
[Lihat Tahdzibut Tahdzib juz 9, hal. 268, no. 503]
Komentar Penulis:
Dengan bahasa kritik yang “halus”, MTA mengeritik tradisi puasa yang dijalankan oleh kalangan Nadhliyin melalui pendekatan hadis. Mereka mengutip dua hadis di atas yang kemudian mencantumkan kajian kritik sanadnya dengan mengutip Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-Asqalani. Perawi yang dikritik mereka adalah Muhammad Ibn Abi Layla. Penulis mencoba mengeritik kritik mereka terhadap “tradisi” puasa muharram yang biasa dilakukan oleh orang Nahdliyin.
Pertama, Anggap saja benar bahwa kedua hadis di atas berstatus dhaif, karena salah satu periwayatnya, Ibn Abu Layla, adalah orang yang hafalannya buruk. Lantas apakah dengan kedhaifan sebuah hadis kita dilarang mengamalkannya? Bukankah dalam ranah Fadhâil A’mal, mayoritas para ulama membolehkan mengamalkan hadis dhaif?[i]
Kedua, hadis-hadis tentang kesunahan puasa bulan muharram (syura), tidak hanya dua hadis tersebut. Ada banyak hadis shahih pendukung tentang kesunahan melakukan puasa tanggal 10 dan 11 Muharram. Sebagai misal, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب قالا حدثنا وكيع عن ابن أبي ذئب عن القاسم بن عباس عن عبدالله ابن عمير ( لعله قال عن عبدالله بن عباس رضي الله عنهما ) قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
: لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع وفي رواية أبي بكر قال يعني يوم عاشوراء[ii]
Hadis senada juga diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Abd Bar.[iii]
Statemen penulis di atas dikukuhkan dengan komentar Ibn Hajar al-Asqâlanî dalam master piecenya, Fath Bârî, di mana ia menjelaskan panjang lebar tentang puasa Muharra. Sebuah judul bab yang diberikan oleh al-Bukhârî dalam Shahîhnya. Ia menyatakan:
“Bab (hukum melakukan) Shiyâm ‘Asyûra’. ‘Asyûra’-dengan dibaca panjang (ra’-nya) menurut pendapat yang masyhur dan menurut sebagian pendapat dibaca pendek- menurut Ibn Duraid adalah sebuah nama Islami yang tidak dikenal sebelumnya (pada zaman Jahiliyyah), sementara Ibn Dihyah menolak pendapat Ibn Duraid dengan mengatakan bahwa term ‘Asyûra’ sudah ada pada zaman Jahiliyyah dan bahwasanya Aisyah ra. Pernah mengemukakan bahwa mereka melakukan puasa pada bulan tersebut. Kendatipun demikian, pendapat kedua belum secara jelas menolak dan meruntuhkan pendapat pertama. Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari puasa ‘Asyûra’. Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud puasa ‘Asyûra’ adalah puasa di hari kesepuluh bulan Syura (Muharram). Al-Qurthûbî mengatakan bahwa term ‘Asyûra’ merupakan derivasi atau pindahan (ûdul) dari kata ‘Âsyirah. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘Asyûra’ adalah hari kesembilan bulan muharram. Akan tetapi saya (Ibn Hajar) berpendapat bahwa kemungkinan yang tepat adalah pendapat yang pertama, hal ini dikokohkan dengan riwayat dari Imam Muslim melalui jalur Ibn Abbâs bahwasanya Nabi Muhammad bersabda, “Seandainya tahun depan saya masih hidup, niscaya saya akan melakukan puasa pada tanggal sembilan (muharram)” kemudia beliau meninggal sebelum bulan tersebut.Dari hadis tersebut tampak jelas bahwa sebelumnya Nabi telah berpuasa pada tanggal sepuluh, kemudian beliau berkeinginan untuk puasa pada tanggal sembilannya, lalu beliau meninggal sebelum melakukannya.Sebagian sarjana muslim berpendapat bahwa maksud sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “Seandainya tahun depan saya masih diberi kehidupan, maka saya akan berpuasa pada tanggal sembilan” memiliki dua kemungkinan. Pertama, memindah kesunahan puasa pada tanggal sepuluh ke tanggal sembilang Muharram. Kedua, menyandarkannya kepada tanggal sepuluh. Kemudian setelah beliau wafat dan sebelum ditemukannya kejelasan tentang maksud dari sabda Nabi di atas, maka yang lebih hati-hati adalah puasa pada kedua hari tersebut. Kesimpulannya, puasa‘Asyûra’ memiliki tiga tingkatan: pertama,tingkatan terendah adalah puasa tanggal sepuluh, kemudian tingkatan di atasnya adalah puasa tanggal sepuluh dan sembilan, dan di atasnya lagi (tingkat tertinggi) adalah puasa pada tanggal sepuluh dan sebelum dan sesudahnya (sembilan, sepuluh, dan sebelas Muharram). Kemudian penulis matan (al-Bukhârî) dalam hal ini lebih dulu memaparkan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa puasa ‘Asyûra’ bukanlah sebuah kewajiban, kemudian selanjutnya menuliskan hadis-hadis yang menunjukkan anjuran (kesunahan) puasa di bulan Muharram.[iv]
Dari paparan di atas, nampak begitu jelas bahwa apa yang dituduhkan oleh MTA tentang dalil dari puasa‘Asyûra’ adalah dhaif tidaklah berdasar. Karena mereka hanya berkutat pada kajian dua hadis, tidak mengkomparatifkan dengan hadis-hadis lainnya. Mengutip al-Ghazali dalam mengeritik orang-orang yang menolak tafsir isyari “mereka benar dan sedang mengakui keterbatasan pemahaman mereka.”
Wallahu A’lam bi Shawab
[i] Mengenai pengamalan hadis dhaif beserta penjelasan tentang syarat-syarat pengamalannya rujuk kitab-kitab Ulum Hadis konvesional seperti: Al-Suyûthî dalam Tadrîb al-Râwî, Mahmud Thahan dalam Taysîr Musthalâh Hadîts
[ii] Muslim bin Hajjâj, Shahîh Muslim, Bab Ayyu Yawm Yushâmu Fi Asyûrâ’, Beirut: Dâr Ihyâ’ Turâts al-Arabî, tt. Vol. 2, h.797. I
[iii] Muhammad al-Qazwaynî, Sunan Ibn Mâjah, Bab Shiyâm Yawm Asyûrâ’, Beirut: Dâr Fikr, tt. Vol.1, h.552
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Bab Musnad Abdullah bin Abbâs, Kairo: Muassasah Qurthubah, tt. Vol.1, h.224 dan
Abdullah bin Abd al-Bar, At-Tamhîd, Maghrib: Wuzarah ‘Umûm al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2002, vol.7, h.214
[iv] Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî, Beirut : Dâr Ma’rifah, 1999. Vol,4, h.245
Siapa sangka jika di kawasan keraton Surakarta terdapat bangunan megah nan mewah yang konon menghabiskan dana sekitar 13 Milyar. Konon, dana tersebut adalah hasil sumbangan dari para jama’ahnya selama kurang lebih sebelas bulan. Sungguh hal yang sangat luar biasa. Sebuah kelompok pengajian yang baru dirintis sekitar tahun 1972 ini sudah mampu mendirikan bangunan yang mewah.
Pada mulanya, penulis tidak begitu “ngeh” dengan MTA, namun kemudian dikenalkan oleh seorang senior yang berbaik hati yang mau membagi wawasan keilmuannya kepada penulis tentang kajian keislaman. Kemudian senior tersebut memberikan sebuah link MTA (http://mta-online.com/v2) untuk membaca dan mengkaji isi dari website tersebut. Penulis akhirnya tertarik untuk mengunduh file-file yang terdapat dalam website tersebut. Kemudian setelah lama tersimpan dalam laptop jadul penulis, penulis mencoba membacanya dengan sabar. Kemudian tidak lama kemudian, ada seorang kawan di pesbuk yang menanyakan tentang MTA. Dari situ, keingintahuan penulis untuk mengetahui MTA semakin memuncak setelah mendengar kabar bahwa Pak Said Aqil (Ketum PBNU) pernah menulis opini di salah satu media yang isinya mengeritik MTA. Tak lama berselang, salah seorang pengurus MTA mengeritik tulisan Pak Said tersebut. Puncaknya, penulis diberikan oleh-oleh Majalah Aula PWNU Jatim edisi Juni yang isinya –hampir 60%- berisikan tentang MTA.
Sejauh ini, paling tidak –sejauh amatan penulis di beranda fesbuk penulis-, belum ada satupun teman-teman penulis yang menyuguhkan informasi tentang MTA. Penulis tidak tahu apakah hal ini dikarenakan kajian mereka (MTA) tidak memikat dan tidak berbobot sehingga malas dan merasa rugi untuk capek-capek membaca dan mengkaji seputar MTA. Atau mungkin ada alasan lainnya. Mungkin pertanyaan selanjutnya adalah “Ada apa dengan MTA?”, kok mau-maunya penulis menyibukkan diri membaca artikel2 MTA dan menulis tentangnya? Yang menarik –bagi penulis- adalah artikel-artikel mereka dikemas dalam bentuk yang sangat rapih dan enak dipandang. Referensi yang digunakan adalah al-Quran dan Hadis. Akan tetapi sedikit banyak –sependek amatan penulis- tulisan mereka dapat “menipu” para pembaca yang tidak cermat dan jeli dalam kajian al-Qur’an dan Hadis. Sebagai misal, mereka dengan begitu halus mengeritik dalil tentang kesunahan puasa tanggal sepuluh dan sebelas Muharram melalui kajian kritik hadis. Karena itu, di samping mendapatkan stimulus dari seorang senior, penulis juga merasa tergugah untuk ikut berpartisipasi dalam kajian ini.
Dengan keterbatasan waktu dan kemampuan penulis, penulis berusaha menampilkan sebuah contoh kajian kritik hadis “serampangan” mereka dalam memberangus tradisi yang telah dilakukan oleh warga Nahdliyin.
MAJLIS TAFSIR AL-QUR’AN
(MTA) PUSAT
http://www.mta-online.com e-mail : humas_mta@yahoo.com Fax : 0271 661556
J Semanggi 06/15, Pasarkliwon, Solo, Kode Pos 57117, Telp. 0271 643288
Ahad, 26 Desember 2010/20 Muharram 1432 BrosurNo.:1537/1577/IA
Hadits tentang puasa tanggal 10 dan 11 Muharram
حدثنا عبد الله حدثني أبي قال هشيم أنا بن أبي ليلى عن داود بن على عن أبيه عن جده بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Puasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah kaum Yahudi. Puasalah sehari sebelum atau sehari sesudahnya”. [HR. Ahmad juz 1, hal. 518, no. 2154]
حدثنا محمد بن يحيى حدثنا مسدد حدثنا هشيم أخبرنا ابن أبي ليلى عن داود بن علي عن أبيه عن جده ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : صوموا يوم عاشوراء و خالفوا اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما
قال الألباني : إسناده ضعيف لسوء حفظ ابن أبي ليلى وخالفه عطاء وغيره فرواه عن ابن عباس موقوفا وسنده صحيح عند الطحاوي والبيهقي
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura dan selisihilah kaum Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya”. [HR. Ibnu Khuzaimah juz 3, hal. 290, no. 2095]
Keterangan :
Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah di atas dla’if, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ibnu Abi Laila, ia jelek hafalannya.
Ibnu Abi Laila, namanya adalah Muhammad bin’Abdur Rahman, bin Abi Laila Al-Anshariy.
Yahya bin Sa’id mendla’ifkannya. Ahmad bin Hanbal berkata, “Ia buruk hafalannya, mudltharibul hadiits. Ibnu Hibban berkata, “Ia buruk, banyak kelirunya dan buruk hafalannya, banyak meriwayatkan hadits-hadits munkar.
[Lihat Tahdzibut Tahdzib juz 9, hal. 268, no. 503]
Komentar Penulis:
Dengan bahasa kritik yang “halus”, MTA mengeritik tradisi puasa yang dijalankan oleh kalangan Nadhliyin melalui pendekatan hadis. Mereka mengutip dua hadis di atas yang kemudian mencantumkan kajian kritik sanadnya dengan mengutip Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar al-Asqalani. Perawi yang dikritik mereka adalah Muhammad Ibn Abi Layla. Penulis mencoba mengeritik kritik mereka terhadap “tradisi” puasa muharram yang biasa dilakukan oleh orang Nahdliyin.
Pertama, Anggap saja benar bahwa kedua hadis di atas berstatus dhaif, karena salah satu periwayatnya, Ibn Abu Layla, adalah orang yang hafalannya buruk. Lantas apakah dengan kedhaifan sebuah hadis kita dilarang mengamalkannya? Bukankah dalam ranah Fadhâil A’mal, mayoritas para ulama membolehkan mengamalkan hadis dhaif?[i]
Kedua, hadis-hadis tentang kesunahan puasa bulan muharram (syura), tidak hanya dua hadis tersebut. Ada banyak hadis shahih pendukung tentang kesunahan melakukan puasa tanggal 10 dan 11 Muharram. Sebagai misal, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب قالا حدثنا وكيع عن ابن أبي ذئب عن القاسم بن عباس عن عبدالله ابن عمير ( لعله قال عن عبدالله بن عباس رضي الله عنهما ) قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
: لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع وفي رواية أبي بكر قال يعني يوم عاشوراء[ii]
Hadis senada juga diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Abd Bar.[iii]
Statemen penulis di atas dikukuhkan dengan komentar Ibn Hajar al-Asqâlanî dalam master piecenya, Fath Bârî, di mana ia menjelaskan panjang lebar tentang puasa Muharra. Sebuah judul bab yang diberikan oleh al-Bukhârî dalam Shahîhnya. Ia menyatakan:
“Bab (hukum melakukan) Shiyâm ‘Asyûra’. ‘Asyûra’-dengan dibaca panjang (ra’-nya) menurut pendapat yang masyhur dan menurut sebagian pendapat dibaca pendek- menurut Ibn Duraid adalah sebuah nama Islami yang tidak dikenal sebelumnya (pada zaman Jahiliyyah), sementara Ibn Dihyah menolak pendapat Ibn Duraid dengan mengatakan bahwa term ‘Asyûra’ sudah ada pada zaman Jahiliyyah dan bahwasanya Aisyah ra. Pernah mengemukakan bahwa mereka melakukan puasa pada bulan tersebut. Kendatipun demikian, pendapat kedua belum secara jelas menolak dan meruntuhkan pendapat pertama. Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari puasa ‘Asyûra’. Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud puasa ‘Asyûra’ adalah puasa di hari kesepuluh bulan Syura (Muharram). Al-Qurthûbî mengatakan bahwa term ‘Asyûra’ merupakan derivasi atau pindahan (ûdul) dari kata ‘Âsyirah. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘Asyûra’ adalah hari kesembilan bulan muharram. Akan tetapi saya (Ibn Hajar) berpendapat bahwa kemungkinan yang tepat adalah pendapat yang pertama, hal ini dikokohkan dengan riwayat dari Imam Muslim melalui jalur Ibn Abbâs bahwasanya Nabi Muhammad bersabda, “Seandainya tahun depan saya masih hidup, niscaya saya akan melakukan puasa pada tanggal sembilan (muharram)” kemudia beliau meninggal sebelum bulan tersebut.Dari hadis tersebut tampak jelas bahwa sebelumnya Nabi telah berpuasa pada tanggal sepuluh, kemudian beliau berkeinginan untuk puasa pada tanggal sembilannya, lalu beliau meninggal sebelum melakukannya.Sebagian sarjana muslim berpendapat bahwa maksud sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “Seandainya tahun depan saya masih diberi kehidupan, maka saya akan berpuasa pada tanggal sembilan” memiliki dua kemungkinan. Pertama, memindah kesunahan puasa pada tanggal sepuluh ke tanggal sembilang Muharram. Kedua, menyandarkannya kepada tanggal sepuluh. Kemudian setelah beliau wafat dan sebelum ditemukannya kejelasan tentang maksud dari sabda Nabi di atas, maka yang lebih hati-hati adalah puasa pada kedua hari tersebut. Kesimpulannya, puasa‘Asyûra’ memiliki tiga tingkatan: pertama,tingkatan terendah adalah puasa tanggal sepuluh, kemudian tingkatan di atasnya adalah puasa tanggal sepuluh dan sembilan, dan di atasnya lagi (tingkat tertinggi) adalah puasa pada tanggal sepuluh dan sebelum dan sesudahnya (sembilan, sepuluh, dan sebelas Muharram). Kemudian penulis matan (al-Bukhârî) dalam hal ini lebih dulu memaparkan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa puasa ‘Asyûra’ bukanlah sebuah kewajiban, kemudian selanjutnya menuliskan hadis-hadis yang menunjukkan anjuran (kesunahan) puasa di bulan Muharram.[iv]
Dari paparan di atas, nampak begitu jelas bahwa apa yang dituduhkan oleh MTA tentang dalil dari puasa‘Asyûra’ adalah dhaif tidaklah berdasar. Karena mereka hanya berkutat pada kajian dua hadis, tidak mengkomparatifkan dengan hadis-hadis lainnya. Mengutip al-Ghazali dalam mengeritik orang-orang yang menolak tafsir isyari “mereka benar dan sedang mengakui keterbatasan pemahaman mereka.”
Wallahu A’lam bi Shawab
[i] Mengenai pengamalan hadis dhaif beserta penjelasan tentang syarat-syarat pengamalannya rujuk kitab-kitab Ulum Hadis konvesional seperti: Al-Suyûthî dalam Tadrîb al-Râwî, Mahmud Thahan dalam Taysîr Musthalâh Hadîts
[ii] Muslim bin Hajjâj, Shahîh Muslim, Bab Ayyu Yawm Yushâmu Fi Asyûrâ’, Beirut: Dâr Ihyâ’ Turâts al-Arabî, tt. Vol. 2, h.797. I
[iii] Muhammad al-Qazwaynî, Sunan Ibn Mâjah, Bab Shiyâm Yawm Asyûrâ’, Beirut: Dâr Fikr, tt. Vol.1, h.552
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Bab Musnad Abdullah bin Abbâs, Kairo: Muassasah Qurthubah, tt. Vol.1, h.224 dan
Abdullah bin Abd al-Bar, At-Tamhîd, Maghrib: Wuzarah ‘Umûm al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2002, vol.7, h.214
[iv] Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî, Beirut : Dâr Ma’rifah, 1999. Vol,4, h.245
Posting Komentar