Seorang ulama-intelektual yang berdedikasi untuk pengembangan lembaga
ilmiah, namun tetap berdiri di atas tradisi pesantren. Keahliannya dalam
Ilmu Perbandingan Agama tergolong langka di lingkungan Nahdlatul Ulama
(NU) pada masanya.
Lahir di Garut pada 3 April 1909, menempuh
pendidikan di HIS (Hollandsche Indische School, setingkat SD pada zaman
Belanda), MULO (setingkat SMP) Kristelijk di Garut, dan AMS (setingkat
SMA) Kristelijk di Sukabumi. Setelah menamatkan pendidikan menengah di
sekolah Katolik tersebut, ia belajar di Pesantren Darussalam Wanaraja,
Garut selama dua tahun, kemudian pada 1930 melanjutkan studi ke Mekah
dan belajar di Madrasah al-Falah selama sebelas tahun.
Ia
kembali ke tanah air menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda. Pada masa
penjajahan Jepang, Anwar Musaddad diangkat menjadi kepala Kantor Urusan
Agama (Shumubu) dan ketua Masyumi untuk daerah Priangan. Pada masa
revolusi, ia bergabung dalam Hizbullah dan memimpin pasukan bersama
pengasuh pesantren Cipari, KH Yusuf Tauziri.
Pada 1953, Anwar
Musaddad mulai bertugas di Yogyakarta menjadi tenaga pengajar di
Fakultas Ushuluddin Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang
baru didirikan Kementerian Agama RI di Yogyakarta (1952) yang kemudian
dikembangkan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami’ah Sunan
Kalijaga (1960).
Anwar Musaddad diangkat menjadi Guru Besar
dalam Ilmu Ushuluddin dan menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin (1962-1967).
Dalam Dies Natalis IAIN Al-Jami’ah ke-5 ia menyampaikan pidato berjudul
“Peranan Agama dalam Menyelesaikan Revolusi”.
Pada 1967, Anwar
Musaddad ditugaskan merintis pendirian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung,
dan menjadi Rektor pertama IAIN Sunan Gunungjati hingga 1974.
Keahliannya adalah Ilmu Perbandingan Agama, khususnya dalam bidang
Kristologi. Salah satu karya dalam bidang ini adalah “Kedudukan Injil
Barnabas menurut Pandangan Islam”, dipublikasikan pada 1981 oleh
Penerbit Albaramain.
Kiprahnya di NU dimulai sejak 1954 pada
kepengurusan Partai NU 1954-1956 sebagai A’wan Syuriyah bersama KH
Ruchiyat (Tasikmalaya), KH Djamhari (Banten), KH Machrus Ali (Kediri),
dan Syaikh Musthafa Chusain Mandailing (Sumata Utara).
Saat itu,
Rais Akbar PBNU adalah KH A. Wahab Hasbullah. Periode berikutnya
(1956-1959) ia masih di A’wan Syuriah, tetapi sekaligus sebagai Ketua
Ma’arif. Selanjutnya, pada periode 1959-1962 menjabat Ketua III
Tanfidziyah, Wakil Rais II Syuriyah (1962-1967), Rais I Syuriyah
(1967-1971), Rais Syuriah III PBNU (1974-1079), wakil Rais ‘Am PBNU
(1979-1984).
Pada saat jabatan Rais ‘Aam PBNU mengalami
kekosongan setelah KH Bisri Syansuri wafat pada 1981, maka untuk mengisi
kekosongan itu ada dua pendapat, yakni Wakil Rais ‘Aam (KH Anwar
Musaddad) secara otomatis menjabat Rais ‘Aam, tetapi ada pendapat lain
bahwa jabatan Rais ‘Am ditetapkan melalui Musyawarah Alim Ulama NU.
Tampaknya
pendapat kedua yang kemudian diberlakukan. Pada Munas Alim Ulama NU di
Yogyakarta 1981, KH Ali Maksum ditetapkan sebagai Rais ‘Aam, dan KH
Anwar Musaddad tetap pada posisinya sebagai Wakil Rais ‘Aam.
Pada
kepengurusan PBNU periode 1984-1989 hasil Muktamar Situbondo, Kiai
Anwar Musaddad menjabat Mustasyar, dilanjutkan pada periode 1989-1994.
Sejak tahun 1976, Anwar Musaddad kembali ke tanah kelahirannya Garut,
mendirikan Pesantren Al-Musaddadiyah yang juga mengelola lembaga
pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Saat ini,
lembaga pendidikan Al-Musaddadiyah diasuh oleh putra-putranya, khususnya
KH Tontowi Jauhari.
Prof. Kiai Haji Anwar Musaddad wafat pada 19
Rabiutsani 1422/2000 dalam usia 91 tahun dan dimakamkan di kompleks
pemakaman keluarga Pondok Pesantren Musaddadiyah, Garut Jawa Barat.
Sumber: www. nu.or.id
Posting Komentar