Konflik internal NU itu juga yang
kemudian membuat Idham dianggap kontroversial. Bahkan ia dijuluki
“politikus gabus”, karena dianggap tidak memiliki pendirian.
Tak banyak yang mau melihat sisi lain
kebijakan-kebijakan Kiai Idham, yang sebenarnya sangat NU dan sangat
Sunni. Sebagai politisi besar NU yang lihai, Idham memang memainkan dua
lakon berbeda, sebagai politisi dan ulama. Sebagai politisi, ia
melakukan gerakan strategis, dan bila perlu kompromistis. Sebagai ulama,
ia bersikap fleksibel, tapi tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan
tradisi yang diembannya.
Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari
upaya kerasnya menjaga stabilitas kalangan bawah nahdliyyin, yang
menjadi tanggung jawabnya, agar selamat fisik dan spiritual melewati
masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yang
berdarah-darah.
Strategi politik tersebut dilandaskan
pada beberapa prinsip. Di antaranya, luwes, memilih jalan tengah
ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi, yang justru membahayakan
kepentingan umat. Menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap
pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa, demi
kemaslahatan umat.
Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam
kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat
dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat,
daripada berada di luar kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak.
Efek kebijaksanaannya sangat luar biasa.
Ia menjadi sangat berakar di kalangan bawah kaum nahdliyyin, terutama
di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah perpolitikan tanah air lebih
dari tiga dekade. Namun, dalam intrnal nahdliyyin ada anggapan bahwa
keterlibatan NU di wilayah politik di bawah kepemimpinannya terlalu
besar. Maka, dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang
tengah digaungkan kalangan muda NU di Muktamar Situbondo 1984, pihak
lawan membuat Idham terjatuh dari kursinya.
Idham Chalid lahir pada tanggal 27
Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara
Kalimantan Selatan. Ia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya, H.
Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200
km dari Banjarmasin.
Sejak kecil Idham dikenal sangat cerdas
dan pemberani. Saat masuk SR, ia langsung duduk di kelas dua dan bakat
pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak
menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik.
Selepas SR, Idham melanjutkan
pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang didirikan oleh Tuan Guru
Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1922.
Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana, beberapa guru lulusan
Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam pendidikan
bahasa, direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Idham, yang
sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak
kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu
pengetahuan umum.
Di mata para siswa dan wali murid,
guru-guru alumni Gontor itu sangat hebat. Tak mengherankan, banyak
siswa, termasuk Idham, bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke
pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa
Timur, itu.
Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid
lagi-lagi membuat namanya bersinar. Kegiatan favoritnya di pesantren
adalah kepanduan, yang kelak ditularkan kepada murid-muridnya di Amuntai
dan di Cipete. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham
untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.
Tamat dari Gontor, 1943, Idham
melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibu kota, kefasihan Idham dalam
berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang
juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan
dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab
dengan tokoh-tokoh utama NU.
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu
masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan.
Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia
Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung
dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke
Serikat Muslim Indonesia.
Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral
Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang dipimpin Hassan Basry,
muridnya saat di Gontor. Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat
menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia
terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU
memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan
Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke
daerah-daerah.
Idham memulai kariernya di NU dengan
aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif,
organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang
sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun
kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham
memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.
Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga
duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais
Am K.H. Abdul Wahab Chasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di
Nusantara.
Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih
peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang
cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun
berikutnya, Kabinet Ali Sastroamijoyo, NU mendapat jatah lima menteri,
termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan
kepada Idham Chalid.
Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan
Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU,
menggantikan K.H. Muhammad Dahlan.
Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan
setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap
bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun
1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung,
dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.
Pertengahan tahun 1966 Orde Lama
tumbang, dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan
tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera, yang dibentuk Presiden
Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai
tahun 1970 dan menteri sosial sampai 1971.
Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP.
Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang
dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI
sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang diemban Idham Chalid adalah
ketua Dewan Pertimbangan Agung.Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP.
Sumber: http://www.majalah-alkisah.com
Posting Komentar