Umur lima tahun, Wahid Hasyim mulai belajar mengaji kepada ayahnya, dan umur tujuh tahun sudah khatam Al-Quran.
Umur l3 tahun, ia masuk pesantren di
Siwalan Panji, Sidoarjo, Mojosari, Nganjuk, dan Lirboyo. Setelah itu ia
belajar sendiri berbagai ilmu pengetahuan.
Tahun 1932, ketika berumur 18 tahun, ia pergi haji dan bermukim di Tanah Suci selama dua tahun.
Empat tahun sepulang dari Tanah Suci, ia
bergabung dengan NU. Di NU ia mulai dari bawah, sekretaris tingkat
ranting di Desa Cukir. Namun lompatan panjang terjadi. Tak lama kemudian
ia dipercaya menjadi ketua NU cabang Jombang, dan ketika departemen
maarif (pendidikan) NU dibuka pada tahun 1940 ia ditunjuk sebagai
ketuanya. Sejak itu ia duduk di barisan pengurus PBNU.
Pada umur 25 tahun ia menikah dengan
Solichah binti K.H. Bisri Syansuri. Mereka pasangan yang serasi,
termasuk dalam dunia politik. Ketika sang suami menjadi menteri, sang
istri pun menjadi anggota DPR. Pasangan ini dikaruniai enam anak, empat
laki-laki dan dua perempuan.
Bulan Maret 1942, Jepang mendarat. Semua
ormas dan orpol Islam dilarang, dan dibentuk MIAI. Kiai Wahid terpilih
menjadi ketuanya. Kedudukan itu, belakangan, mengantar dirinya ke pusat
perjuangan bangsa Indonesia di zaman Jepang. Ia menjadi anggota Cu Sangi
In, kemudian Dokuritsu Zombi Cosakai, hingga Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
K.H. Wahid Hasyim adalah salah satu dari
sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta. Sikapnya yang tegas
tapi luwes menjadikannya figur yang dapat diterima oleh berbagai
kalangan kendati umurnya baru sekitar 30 tahun.
Suksesnya mengintegrasikan kelasykaran
golongan Islam ke dalam TRI, dan kemudian TNI, mengantarnya menjadi
penasihat Panglima Besar Soedirman hingga terjadi Clash I, pemberontakan
PKI Madiun, dan Clash II.
Setelah ayahnya wafat pada 25 Juli 1947, ia mengasuh Pesantren Tebuireng.
Dalam Kabinet Sukiman, ia menjadi
menteri agama. Lima kali ia menjadi menteri. Yaitu menteri negara dalam
Kabinet Presidentil I (1945), menteri negara dalam Kabinet Syahrir
(1946-1947), menteri agama Kabinet RIS (1949- 1950), menteri agama
Kabinet Natsir (1950- 1951), dan menteri agama Kabinet Sukiman
(1951-1952).
Setelah tidak menjadi menteri, ia aktif dalam Partai NU, yang saat itu baru memisahkan diri dari Partai Masyumi.
Pada 19 April 1953, ia dipanggil ke
haribaan Allah SWT dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Cimindi,
Cimahi, Jawa Barat, dalam usia 39 tahun. Jenazah dimakamkan di
Tebuireng, hari itu juga.
Dengan Keppres No. 206/1964 tertanggal
24 Agustus 1964, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional disandangkan kepada
K.H. Wahid Hasyim.
Sumber: http://www.majalah-alkisah.com
Posting Komentar