Begitu pula ketika ada usaha keras untuk
mengganti tanda gambar PPP dari Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, ia
tampil dominan dan berhasil mempertahankan tanda gambar PPP.
Diakui atau tidak, ia adalah penerus
Wahab Chasbullah, yang kebetulan sahabat karib dan kakak iparnya, baik
di NU, PPP, maupun DPR.
Setelah Wahab wafat pada 1971, ia
menggantikan posisi kakak iparnya itu di NU sebagai rais am. Tapi memang
sejak adanya jabatan rais am, yang ditetapkan setelah wafatnya Hasyim
Asy’ari pada 1947, keduanya menjadi “dwi tunggal” sebagai ketua dan
wakil.
Bisri, anak nomor tiga dari lima
bersaudara pasangan Syansuri dan Maiah, lahir pada 18 September 1886/26
Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa Tengah, daerah yang kuat memegang tradisi
ajaran Islam.
Umur tujuh tahun, ia belajar agama
kepada Kiai Sholeh hingga umur sembilan tahun. Setelah itu ia
mempelajari hadits, tafsir, dan bahasa Arab kepada Kiai Abdul Salam,
salah seorang familinya yang hafal Al-Quran. Sesudah itu ia ke Jepara
belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang dan Kiai Cholil Kasingan.
Umur 15 tahun ia menuju Bangkalan,
Madura, berguru kepada Kiai Cholil. Di sinilah ia berjumpa dan berteman
akrab dengan Wahab Chasbullah.
Dari Bangkalan, ia menuju Jombang, berguru kepada K.H. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng.
Setelah enam tahun, ia mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.
Setelah enam tahun, ia mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.
Seusai dari Tebuireng, ia melanjutkan
pengembaraan ilmunya ke Makkah bersama Wahab (1912). Di sana ia berguru
kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti K.H. Muhammad Bakir, Syaikh
Muhammad Sa`id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki. Juga
kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Syaikh Syu`aib Dagestani, dan
Syaikh Mahfudz Termas.
Tahun 1914 ia mempersunting adik Wahab
Chasbullah, Nur Chadijah, di Tanah Suci. Setelah itu, tahun itu juga,
Bisri balik ke tanah air dan menetap di Jombang, membantu mertuanya
mengurus Pesantren Tambakberas.
Pada 1917, atas bantuan mertua, ia
membuka pesantren sendiri di Desa Denanyar, yang populer dengan sebutan
Pesantren Denanyar. Tahun itu pula, kakak iparnya, Wahab, pulang
kampung. Bisri ikut terlibat dalam sepak terjang Wahab ketika mendirikan
Komite Hijaz dan pembentukan NU pada 31 Januari 1926 di Kertopaten,
Surabaya.
Dalam proses pendirian NU, Bisri menjadi penghubung antara Kiai Wahab dan Kiai Hasyim Asy`ari.
Segera setelah NU terbentuk, sebagai
pembantu dalam susunan pengurus besar, ia menjadi motor penggerak di
Jombang dan daerah pesirir utara Jawa. Posisi itu membuatnya dikenal
secara luas.
Rumah tangga Bisri dikaruniai sepuluh
anak, tapi ada beberapa yang meninggal waktu kecil. Di antaranya anaknya
itu, Solichah, dinikahkan dengan Wahid Hasyim, putra sulung Hasyim
Asy`ari, gurunya.
Ketika Masyumi terbentuk, ia pun aktif
di dalamnya. Periode kemerdekaan juga membawanya pada fase perjuangan
bersenjata. Di pemerintahan, ia mula-mula duduk di Komite Nasional
Indonesia Pusat, mewakili Masyumi. Tahun 1855 ia terlibat dalam Dewan
Konstituante hasil pemilu, mewakili NU. Pada Pemilu 1971 ia terpilih
masuk DPR.
K.H. Bisri Syansuri menutup mata
beberapa bulan setelah terpilih menjadi rais am NU dalam Muktamar
Semarang Juni 1979, tepatnya pada 25 April 1980, dalam usia 94 tahun.Sumber: http://www.majalah-alkisah.com
Posting Komentar