Kalau ada kiai disebut sebagai pakar
khitthah, maka yang dimaksud adalah KH Abdul Muchit Muzadi. Salah satu
deklarator PKB. Sebab kiai kelahiran Tuban tahun 1925 inilah yang punya
konsep khithah, kembalinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (NU) ke kancah
perjuangan keagamaan, meninggalkan dunia politik praktis.
Sejak diputuskan khithah bagi Jam’iyah NU pada Muktamarnya tahun 1984 di
Ponpes Salafiyah syafi’iyyah Sukorejo, Situbondo, kesibukan Mbah Muchit
(sapaan akrabnya) bertambah. Sebab mbah Muchit-lah yang selalu
memberikan penjelasan masalah khithah ke masyarakat. Selain itu juga
sering menulis tentang khithah di majalah AULA terbitan PWNU Jawa Timur.
Kendati kelahiran daerah pesisir yang kebanyakan bertemperamen keras,
tetapi tidak ada sifat keras pada diri mbah Muchit, bahkan sebaliknya
penuh dengan kesabaran dan tawadlu’, bahkan terkesan sangat hormat
kepada siapa saja yang bertamu kepadanya. Hal ini karena keilmuannya
yang tinggi dan sudah banyak “makan garam” kehidupan. Pada suatu
kesempatan mbah Muchit mengatakan bahwa dirinya dipanggil kiai karena
dia punya adik seorang kiai, yakni KH. Hasyim Muzadi pengasuh pesantren
mahasiswa Al-Hikam Malang, yang juga ketua umum PBNU. Itulah sekilas
gambaran Kiai Muchit, ibarat padi makin berisi makin merunduk..
Masa Pembentukan
Walau anggota mustasyar PBNU ini mengaku bukan sebagai anak kiai atau
aktivis pergerakan, tetapi suasana revolusi telah memaksanya untuk aktif
di dunia pergerakan, sejak dari pergerakan keilmuan hingga kemerdekaan.
Setelah belajar di pesantren Tuban ia melanjutkan belajar kepada
Hadlratussyaikh KH. Hasyim /asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang. Di
Tebuoreng ia tidak hanya belajar agama saja, tapi juga belajar
berorganisasi. Karena itu, pada tahun 1941, saat usia muda ia telah
menjadi anggota NU. Selain itu, disana ia juga bertemu dengan beberapa
santri terkenal dari daerah lain, diantaranya Ahmad Shidiq.
Karena ia tidak memiliki prestasi yang menonjol saat itu, makanya ketika
KH. A.Wahid Hasyim mendirikan pendidikan kader khusus, Muchit muda
tidak termasuk santri yang direkrut. Namun demikian ia banyak belajar
pada peserta kader khusus itu, sehingga iua mendapatkan pengetahuan umum
yang memadai. Kemampouan itu yang dijadikann bekal untuk memasuki dunia
luar pesantren, yang selanjutnya ia banyak berkiprah di sana dalam
berbagai profesi.
Untuk menerapkan pengetahuannya itu, maka setamat dari Tebuireng ia
kembali ke kampung halamannya di Tuban dengan mendirikan Madrasah
Salafiyah (1946). Walaupun sebagai guru ia juga tidak bertopang dagu,
yapi ikut berjuang melawan penjajah, masuk ke Lasykar.
Ketika suasana kembali normal, pada tahun 1952 mbah Muchit mendirikan
Sekolah Menengah Islam (SMI), selanjutnya pada tahun 1954 juga
mendirikan Madrasah Muallimin Nahdlatul Ulama. Begitu juga ketika pada
tahun 1961 mendapatkan tugas sebagai pegawai di IAIN Sunan Kalijogo
Yogyakarta, maka digunakan kesempatan untuk mbelajar lagi dengan
mengikuti kuliyah di Universitas Cokroaminoto. Di kota gudeg itulah
rupanya ia menemukan ide-ide pembaharuan. Maka ketika ditugaskan di IAIN
Malang tahun 1963 iapun sempat merintis SMP NU. Begitu juga ketika
menjadi PD II di IAIN Sunan Ampel Jember ia juga mendirikan Madrasah
Tsanawiyah. Di seluruh sekolahan yang dirintisnya itu ia bertindak
sebagai kepala sekolah. Gerak hidup yang dinamis itu rupanya yang
membuat ia tidak mendirikan pesantren secara fisik, sebab pesantren yang
dibangunnya lebih luas, seluas komunitas NU.
Penugasan ke IAIN Sunan Ampel Jember rupanya sebuah beberuntungan
tersendiri buatnya, sebab disana ia bertemu dengan sahabat
seperguruannya yang mengasuh pesantren besar disana, yaitu KH. Achmad
Shidiq. Dengan demikian ia menemukan partner diskusi yuang seimbang dan
sekaligus guru yang bisa diteladani. Masa-masa itu yang semakin
mematangkan pemikirannya, sehingga banyak lahir pemikiran keislaman yang
ditulis.
Ketika sahabatnya itu menjadi Rais Am Syuriyah PBNU yang saat itu
dituntut untuk membuat rumusan konseptual mnengebnai Aswaja, menuntaskan
hubungan Islam dengan negara dan mencari rumusan pembaruan pemikiran
Islam, serta strategi pengembangan masyarakat NU, maka KH Achmad Shidiq
semakin membutuhkan pikiran mbah Muchit. Karenanya ia diangkat sebagai
sekretaris yang sekaligus penasehat pribadinya.
Dengan dibantu mbah Muchit, maka langkah Kiai Ahmad (panggilan KH Ahmad
Shiddiq) mampu mengimbangi gerak pembaharuan yang dilakukan oleh Ketua
Umum PBNU KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur), sehingga dalam waktu singkat
NU menjadi organisasi yang sangat maju, dan berperan besar baik dalam
bidang keagamaan, kemasyarakatan termasuk kenegaraan. Sukses duet Gus
Dur dan Kiai Ahmad ini tidak bisa lepas dari pikiran kreatif mbah Muchit
Muzadi yang menjaga “dapur” pemikiran Kiai Ahmad.
Kendati berwatak tawadlu’ tetapi sikap tegas dan konsekuen adalah ciri
khas pribadinya. Hal hal ini pernah beliau tunjukkan baru-baru ini,
ketika proses pencalonan gubernur Jawa Timur baru dimulai. Dimana Mbah
Muhith dan para kiai sepuh se Jawa Timur berkumpul untuk membahas calon
gubernur dari PKB. Diantara keputusan rapat para kiai itu ialah
memunculkan nama Saifullah Yusuf, Sekjen DPP PKB, namun nama ini ditolak
oleh Ketua dewan Syuro PKB, KH. Abdurrachman Wahid. Bahkan akhirnya Gus
Dur menetapkan nama Kahfi sebagai calon dari PKB.
Melihat kenyataan ini Kiai Muhith ketika ditemui di acara silaturrahmi
antara PWNU dengan PCNU se Jatim awal Juli lalu mengatakan, “kalau saya
gelo tapi kalau Kiai Masduki mangkel,” kata mbah Muhith mengakhiri
pembicaraan dengan Suara Santri di ruang VIP Bir Ali Asrama Haji
Sukolilo Surabaya. (m.muslih albaroni)
Sumber: http://suara-santri.tripod.com
Posting Komentar