Sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal nasionalis dan pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas melakukan. |
KH Achmad Hasyim Muzadi
(KH Hasyim Muzadi)
Lahir:
Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944
Jabatan:
Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (1999-2004 dan 2004-2009)
Pengalaman Penting:
Calon Wakil Presiden Pemilu 2004
Istri:Hj. Mutammimah
Anak:Enam orang (3 putra dan 3 putri)
Ayah:H. Muzadi
Ibu:Hj. Rumyati
Pendidikan:
- Madrasah lbtidaiyah Tuban-Jawa Timur 1950-1953
- SD Tuban-Jawa Timur 1954-1955
- SMPN I Tuban-Jawa Timur 1955-1956
- KMI Gontor, Ponorogo-Jawa Timur 1956-1962
- PP Senori, Tuban-Jawa Timur 1963
- PP Lasem-Jawa Tengah 1963
- IAIN Malang-Jawa Timur 1964-1969
- Bahasa 1972-1982
Kemampuan Bahasa:
Indonesia, Arab, Inggris
Pengalaman Karir:
- Membuka Pesantren Al-Hikam di Jalan Cengger Ayam, Kodya Malang
- Anggota DPRD Kotamadya Malang dari PPP
- Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Malang
- Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987
Organisasi:
- Ketua Ranting NU Bululawang-Malang, 1964
- Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang 1965
- Ketua Cabang PMII Malang 1966
- Ketua KAMMI Malang 1966
- Ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971
- Wakil Ketua PCNU Malang 1971-1973
- Ketua DPC PPP Malang 1973-1977
- Ketua PCNU Malang 1973-1977
- Ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987
- Ketua PP GP Ansor 1987-1991
- Sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988
- Wakil Ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992
- Ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999
- Ketua Umum PBNU 1999-2004
- Ketua Umum PBNU 2004-2009
Legislatif:
- Anggota DPRD Tingkat II Malang-Jawa Timur
Publikasi:
- Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo, Jakarta, 1999.
- NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logo, Jakarta, 1999.
- Menyembuhkan Luka NU, Jakarta, Logos, 2002.
Alamat Kantor:
PBNU Jalan Kramat Raya No 168 Jakarta Pusat
Alamat:
Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang
Kontrak Jam’iyyah NU
1. Akan taat kepada AD/ART NU, Khittah Nu, Rais Aam dan Keputusan Lembaga Syuriyah.
2. Akan berusaha sekuat tenaga melaksanakan amanat muktamar ke-31 dan keputusan jam’iyyah yang lain.
3. Tidak akan, langsung atau tidak langsung, mengatasnamakan NU, kecuali bersama-sama Rais Aam atau atas dasar keputusan rapat PB NU dan tidak akan bertindak atau mengambil kebijaksanaan sendiri tanpa berkonsultasi dengan Rais Aam.
4. Tidak akan mencalonkan diri untuk jabatan politis, baik di legislatif maupun eksekutif.
NU Bukan Demi Kekuasaan
Kyai kelahiran Tuban, 8 Agustus 1944, ini terpilih kembali untuk periode kedua (2004-2009) sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Mantan Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Capres Megawati Soekarnoputri (PDI-P) ini berhasil mengungguli secara mutlak para pesaingnya, termasuk KH Abdurrahman Wahid.
Dalam Muktamar NU ke 31 di Donohudan, Boyolali, Jateng, (28/11-2/12/2004), pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara.
Peserta muktamar mengajukan enam nama untuk jabatan ketua umum PB NU periode 2004-2009. Dalam pemungutan suara tahap pencalonan, KH Hasyim Muzadi memperoleh 293 suara, KH Masdar F Mas’udi 103 suara, KH Mustofa Bisri (35) Abdul Azis (4), sedangkan Gus Dur dan Tholchah Hasan hanya memperoleh 1 suara. Sehingga dilakukan tahap pemilihan antara KH Hasyim Muzadi 293 suara, KH Masdar F Mas’udi 103. Pada tahap ini KH Hasyim Muzadi mutlak mengungguli KH Masdar F Mas’udi dengan perbandingan suara 334 dan 99.
Ketika menjadi Calon Wakil Presiden, dia nonaktif sebagai Ketua Umum NU. Sejak awal terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999, dalam menjalankan organisasinya sebagai Ketua Umum, ia memiliki prinsip bahwa NU tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik (parpol). Menurutnya, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup menyulitkan posisi NU.
Sejak semula dia berpendirian bahwa NU sebagai ormas Islam terbesar dengan jumlah anggota mencapai 45 juta orang, tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan.
Pengalaman pahit selama 21 tahun menjadi partai politik periode 1952 sampai 1973, kata Muzadi, menjadi pertimbangan signifikan dari pengurus besar untuk mengubah bentuk organisasi itu. Waktu itu, kata mantan Ketua NU Cabang Malang, ini kerja orang-orang NU hanya memikirkan kursi legis-latif. Sementara kerja NU lainnya seperti usaha memajukan pendidikan dan intelektual umat terabaikan.
Menjelang Pemilu 2004, NU didorong oleh berbagai kelompok untuk menjadi partai politik. Desakan menjadi parpol juga datang dari kelompok dalam NU (kalangan nahdliyin), tetapi sikap NU tidak goyah. Politik merupakan salah satu kiprah dari sekian banyak sayap NU. Di mata Muzadi, partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan, sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Di sisi lain NU dituntut memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik.
Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang, ini dikenal sebagai sosok kiai yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal nasionalis dan pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas melakukan.
Ketika terjadi peristiwa ditabraknya gedung WTC 11 September 2001, di mana AS langsung menuduh gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaring Al Qaeda, posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan berarti persoalan selesai.
Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan dunia luar secara intensif. Tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indonesia dengan internasional dan AS, itu makin positif. Apalagi, di tengah keterpurukan ekonomi, sosial, dan keamanan di Indonesia saat ini, kerja sama internasional jauh lebih berfaedah daripada keterasingan internasional.
Hasyim Muzadi pun menjadi tokoh yang mendapat tempat diundang pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran itu langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga bersyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar.
“Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,? ujar Hasyim.
Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia-betapapun jumlah dan kekuatannya cuma segelintir-Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Jangan sekali-kali menggunakan represi. Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,? tutur Hasyim.
Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.
Di sisi lain, AS sadar perlunya menggalang pengertian dan kerja sama dengan Islam moderat di dunia. Di AS sendiri, ada sekitar 5 juta penganut Islam dan kini menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya dibandingkan agama-agama lain.
Muzadi juga mengakui, pejabat AS memang memiliki pandangan sendiri tentang masa depan, dunia Islam, dan terorisme. Namun banyak senator AS yang berharap Indonesia menjadi komunitas muslim yang pada masa depan bisa bersahabat dengan dunia. “Itu istilahnya mereka,? katanya. Sedangkan ukuran AS adalah Indonesia bisa mengatur diri, sehingga tak menjadi sarang “kekerasan.” Namun, menurut Muzadi, yang cukup menggembirakan adalah tidak ada rencana AS sedikit pun untuk menyerang Indonesia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi, resmi menjadi calon wakil presiden mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Sukarnoputri pada Pemilu 2004. Kyai kelaharian Tuban, 8 Agustus 1944, ini menyatakan kiranya ia bisa berperan demi kesejahteraan bangsa, antara lain dalam rangka pemberantasan korupsi.
Pendeklarasian pasangan Capres-Cawapres ini dilakukan di pelataran Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis 6 Mei 2004. Proses penetapan pasangan ini, menurut Hasyim dan Mega, sudah dirintis sejak enam bulan lalu, saat Megawati berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang yang dipimpin Hasyim Muzadi
Sumber: http://nupapringjaya.wordpress.com
Posting Komentar