Refleksi 20 Mei "Ulama dalam Kebangkitan Nasional"


Kita kedepankan ‘Ulama dalam sejarah Kebangkitan Nasional, karena fakta sejarah, oleh karena itu sejarah harus diungkap dan ditegakan, agar dikemudian hari tidak ada sejarah yang diputar balikan. 
Orang sekarang lagi gemar dengan istilah formal dan non-formal. Para ulama digolongkan kedalam kategori pemimpin non-formal. Tentunya bukan dimaksud bahwa ulama termasuk dalam golongan pemimpin yang tidak sungguh-sungguh atau tidak beraturan, sebab menurut etimologi bahwa formal artinya sungguh-sungguh, sedangkan non artinya tidak. Dalam konteks sekarang bahwa non-formal dalam kepemimpinan ulama merupakan pemimpin yang tidak digaji oleh pemerintah atau pemimpin yang tidak bukan pegawai negari.
Kebangkitan dari Semua Golongan
Jika dilihat dari namanya, ‘Kebangkitan Nasional’, maka pasti memiliki arti kebangkitan seluruh golongan. Arti kata Nasional mengandung makna  bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dr bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa.
Setiap peringatan hari kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei, pasti kita dikenalkan dengan nama-nama, seperti Wahidin, Sutomo, Rajiman, H. Samanhudi, Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Ciptomangunkusumo, Setia Budi (Douwes Dekker), Agus Salim, dan masih banyak lagi. Begitu banyak deretan nama-nama besar kita, namun sebagai orang NU, kita bertanya-tanya, mengapa Hadratusyekh KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah,tidak disebut-sebut?
Kebangkitan Klasik dan Kebangkitan Modern
Perjuangan bangsa Indonesia terus sambung menyambung dari periode ke periode yang lain, dari satu angkatan ke angakatan sesudahnya. Namun semuanya dalam satu rangkaian kesatuan sejarah yang besar.
Klasik dan modern hanyalah periode zaman kedudukan dalam kesatuan mata rantai perjuangan yang amat panjang. Namun kehadiran ulama dalams setiap periodisasi perjuangan senantiasa positif. Contoh penampilan Adipati Unus (Yunus) didampingi oleh Wali Songo, penampilan Sultan Agung Mataram dipelopori Syarif Hidayatullah, penampilan Pangeran Diponegoro di dampingi oleh Kiai Mojo, dan penampilan Wahidin, Ki Hajar Dewantara, Sutomo di dampingi Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai A. Wahab Hasbullah yang bersama DR. Sutomo mendirikan studio Club di Surabaya.
Pada tahun 1927 ketika ir. Sukarno, Dr. Sutomo, Muhammad Husni Thamrin dan lain-lain membentuk badan aksi bersama dalam permufakatan Partai-Partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), mereka duduk dalam satu meja bersama Cokroaminoto, Haji Agus Salim dari kalangan Islam.
“Kebangkitan modern tidak akan ada tanpa kehadiran kebangkitan klasik”.
Kebangkitan modern didasari oleh tata organisasi perjuangan sesuai dengan kondisi zaman, namun  cita-cita aspirasinya bersumber pada aspirasi kebangkitan klasik. Aspirasi itu selama-selamanya harus tetap, yaitu; Mencapai Keadilan Sosial Bangsa Indonesia dalam Kemerdekaan. Sebagai rakyat Indonesia kita mencita-citakan menjadi Tuan di negeri sendiri, menikmati kekayaan Tanah Air yang dipenuhi keberkahan rahmat Allah swt., secara adil dan bermartabat.
Kebangkitan Nasional terus berkembang sampai kapanpun. Pada tahun 1941 tokoh-tokoh politik yang bergabung dalam Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI) seperti MR. Sartono, Dr. A. K. Ghani, Sukarjo Wiryopranoto, Iskandar Dinata, Kasimo, dan lain-lain, mereka duduk dalam satu menja bersama-sama KH. A. Wahid Hasyim, KH. Mas Mansur, Dr. Sukiman, dan Abikusno Cokrosuyono dari Majelis  Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah organisasi dari gabungan NU, Muhammadiah, PSII, PII dan sebagainya. Pemimpin-pemimpin MIAI dalam Majelis Rakyat Indonesia untuk Indonesia mereka yang adil dan makmur.
Kebangkitan modern kain menemukan bentuknya ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 didengungkan. Pemimpin-pemimpin yang menangani Kemerdekaan , seperti Ir. Sukarno, Muhammad Hatta, Ahmad Subarjo, Sukarni, Khairul Saleh, Adam Malik dan B. M Diah berbaris dalam satu barisan bersama-sama KH. A. Wahid Hasyim, Anwar Cokroaminoto, Abikusno, Kiai Abdulkahar Muzakkir dan KH. Masykur.
Ketika kemerdekaan pada 17 Agustus harus dipertahankan dengan darah, air mata dan diplomasi, maka komandan-komandan pertempuran yang gagah berani seperti Sudirman, Urip Sumoharjo, Suriadarma, Ahmad Yani, Suharto dan Jatikusumo, bergandengan tangan dan bahu membahu dengan KH. Zainul Arifin, KH. Masykur, Aruji Kartawinata, Iskandar Sulaiman, Wahib Wahab, dan lain-lain, hanya satu yang mereka inginkan Indonesia harus tetap mereka.
Kebangkitan Nasional Masa Kini
Sekarang, kebangkitan itu tidak boleh padam. Tidak hanya dari satu golongan saja, tetapi meyeluruh meliputi  seluruh batas nasional. Kebangkitan itu tetap dalam tema perjuangan bangsa Indonesia sejarah dari yang klasik hingga sekarang, yaitu mencapai keadilan sosial bangsa Indonesia dalam kemerdekaan yang penuh, lengkap dan jaya.
Pemimpin-pemimpin sekarang bertugas meneruskan perjuangan pemimpin-pemimpin masa lalu, visi dan misi dari setiap genarasi pemimpin bangsa harus sama, yaitu perbaikan nasib dan taraf hidup, kesejahteraan genarasi yang berilmu, cakap patriotis, berakhlak, dan tidak terpengaruh oleh budaya yang merusak. Tapa ada visi dan misi dalam kebangitan nasional, maka bangsa Indonesia akan kehilangan arah, untuk itu perlu suatu wadah yaitu partai politik dan organisasi masyaraka yang besifat keagamaan maupun bersifat umum yang telah dilindungi oleh hukum negara.
Sekarang tinggal dipraktikan dengan sikap kedewasaan sebagai Bangsa yang telah diilhami oleh amal jariyah para pemimpin-pemimpin generasi sebelum kita yang semakin hari-semakin jauh jarak masanya, namun sangat dekat dalam ukuran bathin dan cita-cita luhur demi kejayaan Bangsa, Tanah Air dan Agama!
Ahmad Rosidi
Saduran dari buku” Unsur Politik dalam Dakwah” karangan KH. Syaifuddin Zuhri
·  

Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Islam Rahmah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger