Beliau lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?).
Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah, juga putri kiai kondang (Siapa?).
Pendidikannya dihabiskan di pesantren,
mulai dari Pesantren Langitan (Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah
bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko, Tawangsari (Surabaya), hingga
Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura), langsung berguru kepada Mbah
Cholil. Kiai Cholil kemudian menganjurkannya belajar ke Pesantren
Tebuireng (Jombang).
Pada umur 27, ia pergi ke Makkah dan
berguru kepada ulama-ulama besar Indonesia yang bermukim di sana,
seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari Bawean. Ia juga belajar
kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang Indonesia,
seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened.
Tahun 1921, sewaktu menunaikan ibadah
haji bersama istri, sang istri meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah
dengan Alawiyah binti Alwi. Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua
ini juga meninggal. Setelah itu ia menikah berturut-turut dengan tiga
wanita yang semuanya tidak memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya
dari istri berikutnya, Asnah binti Kiai Said.
Setelah Asnah meninggal, ia menikah lagi
dengan Fatimah binti H. Burhan, seorang janda yang punya anak bernama
Syaichu, yang kelak menjadi ketua DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu
ia menikah lagi dengan Masnah, dikaruniai seorang anak, lalu dengan
Ashikhah binti Kiai Abdul Majid (Bangil), meninggal di Makkah setelah
memberinya empat anak, dan yang terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang
istri, yang mendampinginya sampai akhir hayatnya dan memberinya
keturunan lima anak.
Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914,
ketika berumur 26 tahun, ia mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar
(Pergolakan Pemikiran) bersama K.H. Mas Mansur.
Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri
dari banyak ulama tradisional muda, seperti K.H. Bisri Syansuri
(1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), yang di kemudian hari
memainkan peranan penting di NU.
Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai
Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia mendirikan koperasi dagang Nahdlatut
Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk kalangan tradisionalis di kisaran
Surabaya-Jombang.
Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.
Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis, seperti dr. Soetomo.
Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis.
Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan
Hasyim Asy`ari, ia mengundang para ulama terkemuka dari kalangan
tradisionalis ke Surabaya untuk mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz,
yang akan mengirim delegasi ke kongres di Makkah untuk mempertahankan
praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15
kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab
Chasbullah di Kertopaten, Surabaya.
Pertemuan tersebut akhirnya juga
menghasilkan kesepakatan mendirikan NU, sebagai representasi Islam
tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam tradisional di Hindia
Belanda.
Kemudian, MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di Indonesia), yang terbentuk pada
September 1937, juga merupakan gagasan Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan
Kebondalem (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI).
Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan
kerja sama di antara umat Islam.
Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh
Jepang dan dibentuklah Masyumi pada November 1943. Hasyim Asy`ari
ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab Chasbullah sebagai penasihat dewan
pelaksananya.
Meski Masyumi adalah organisasi
non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis, dimaksudkan
untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan Jepang.
November 1945, Masyumi berubah menjadi
parpol. Masyumi menjadi satu-satunya kendaraan politik umat Islam.
Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat
Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari, menjadi wakilnya, dan
Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan.
Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran
politik bagi Masyumi lewat muktamar di Purwokerto (1946), orang-orang
NU tampil di pemerintahan, yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H.
Fathurahman Kafrawi. Sedang Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA.
Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU.
Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai
tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro.
Maka ia sangat gencar mengkampanyekan penarikan diri NU dari Masyumi.
Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada
sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota parlemen dari NU
menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab Chasbullah, Idham Chalid,
Zainul Arifin.
Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi partai terbesar. “Gelar” itu jatuh ke tangan PNI.
Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU
meraih tempat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab
Chasbullah lebih banyak pada bidang politik praktis di Jakarta,
terutama sebagai anggota parlemen dan rais am NU.
K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29
Desember 1971, pada usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren
Tambakberas, Jombang.
Sumber: http://www.majalah-alkisah.com
Posting Komentar